Congyang dan Es Krim
Cap Tiga Orang x Three Folks, dari namanya saja sudah cocok bukan?
Sebenarnya awalnya kami tertarik cuma gara2 brand resmi yang dipakai oleh minuman ini: Cap Tiga Orang.
Namun setelah mempelajari cerita ( dan tentunya mencicip ) alkohol asli Semarang ini, kami langsung yakin dan semangat untuk menjadikan ini kenyataan.
Sebelumnya kami hanya mengenal Congyang sebagai oleh-oleh khas Semarang selain lumpia. Namun, ternyata Congyang merupakan minuman dengan sejarah kental di Semarang.
Sejarah minuman yang diakui sebagai asimilasi budaya Jawa dan Tionghoa ini, dimulai dari tahun 1923.
Dibuat oleh Ahli Kung Fu
Khong A Djong merupakan ahli kung fu yang terkenal pada zamannya. Ia pernah menjuarai kejuaraan kungfu di Tiongkok selama tujuh kali berturut-turut.
Sejak ia menikahi istrinya di tahun 1923, Khong A Djong memulai sebuah usaha untuk menafkahi keluarganya. Ia meracik minuman dengan merk “A Djong.” Minuman inilah yang menjadi asal muasal Congyang.
Minuman Bagi Seluruh Kalangan Masyarakat
Meskipun sempat populer, penjualan A Djong kian menurun di Semarang. A Djong dengan kadar alkohol 35%, memiliki rasa yang terlalu panas. A Djong dinilai kurang cocok dengan lidah, tenggorokan, dan perut orang Semarang pada masa itu.
Pada tahun 1980, Koh Tiong, sebagai penerus Khong A Djong, melakukan riset-riset pengembangan agar minuman karya keluarganya dapat bangkit.
Dalam tahap pengembangan, Koh Tiong berjuang untuk meramu minuman yang bisa diterima oleh semua kalangan. Mulai dari tukang becak, kuli panggul, pengusaha, guru, dosen, seniman, artis, pegawai negeri, hingga mahasiswa.
Hasil karya Koh Tiong mendapatkan antusiasme yang sangat tinggi dari masyarakat Semarang.
Seiring berjalannya waktu, Koh Tiong merubah merk minuman menjadi Tiga Dewa, dan kemudian dipatenkan menjadi Cap Tiga Orang pada tahun 1985.
Kenapa Congyang?
Dalam perkembangan merk minuman ini, baik Khong A Djong ataupun Koh Tiong tidak pernah menggunakan nama Congyang. Namun kenapa minuman ini lebih dikenal dengan sebutan Congyang?
Berdasarkan sebuah artikel di Kompas, Congyang adalah istilah yang digunakan tanpa sengaja oleh masyarakat Semarang pada minuman ini. Ada yang mengatakan bahwa kata Congyang adalah serapan dari bahasa Hokkian yang berarti Mawar Merah. Padahal, dalam bahasa Hokkian kata "Chong" berarti Maju dan "Yang" sendiri tidak memiliki pemaknaan Mawar ataupun Merah.
Berdasarkan artikel energibangsa.id , ada ungkapan yang terkenal di kalangan pecintanya. Ungkapan tersebut berbunyi demikian,” Congyang adalah air kedamaian, air kata - kata yang rasanya manis dan menghangatkan.”
Dari berbagai sumber yang saya cari, saya mulai yakin kalau nama Congyang tidak sengaja disebutkan oleh orang mabuk, kemudian tau - tau jadi trend.
Congyang dan Es Krim
Congyang merupakan hasil fermentasi beras putih, gula pasir, spirit, dan aroma tambahan. Congyang memiliki rasa seperti Whiskey: pahit, tidak terlalu manis, dengan aroma yang unik.
Mengkombinasikan Congyang menjadi es krim membutuhkan ingredients pairing yang menarik dan tepat. Kami ingin mengintegrasikan budaya mengkonsumsi Congyang yang biasanya dilakukan masyarakat kota asalnya, ke dalam Es Krim Congyang.
Berdasarkan beberapa sumber yang saya temukan, Congyang merupakan minuman yang dinikmati dengan cemilan. Ada juga kalangan yang menggunakan kopi sebagai campuran saat meminum Congyang.
Dari hasil observasi dan eksperimen (a.k.a. Minum” lucu sambil ngemil), akhirnya kami merilis Mocha Congyang Brownies. Es Krim coklat dan kopi yang dibalut dengan aromatik Congyang. Ditaburi dengan potongan brownies yang kami rendam dengan Congyang.
Lewat Mocha Congyang Brownies, kami mencoba menciptakan experience menikmati Congyang yang lengkap dalam bentuk es krim.
Cuaca dingin di bulan Desember sangat mendukung untuk menikmati Mocha Congyang Brownies. Semangkuk creamy dessert yang membuat tubuh menjadi hangat.